Dinar Emas

07 September 2009

Coin Dinar

Coin Dinar

Dinar Emas dan Dirham Perak

Abu Bakr ibn Abi Maryam meriwayatkan bahwa beliau mendengar Rasulullah salallaahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Masanya akan tiba pada umat manusia, ketika tidak ada apapun yang berguna selain dinar dan dirham.” (Masnad Imam Ahmad Ibn Hanbal).

Kepingan Logam Muslim Pertama
Pada awalnya Muslimin menggunakan emas dan perak berdasarkan beratnya dan Dinar-Dirham yang digunakan merupakan tiruan dari bangsa Persia di masa pemerintahan Yezdigird III raja dinasti Sassan, yang dicetak di masa Khalifah ‘Usman, radiallahu anhu. Yang membedakan dengan koin aslinya adalah adanya tulisan Arab yang berlafazkan “Bismillah”. Sejak saat itu tulisan “Bismillah” dan bagian dari Al Qur’an menjadi suatu hal yang lazim ditemukan pada koin yang dicetak oleh Muslimin. Seri yang diterbitkan berikutnya, berdasarkan drachma Khusru II, yang kepingannya kemungkinan mewakili sebagian besar uang yang beredar. Bersamaan dengan kepingan Sasan yang dicetak bangsa Arab dengan jenis Khusru terbaru yang pertama kali diterbitkan dibawah kepemimpinan Khulafa’urrasyidin, dalam perkembangan selanjutnya lebih banyak lagi kepingan versi cetakan nama Khusru diganti dengan nama amir Arab setempat atau terdapat nama Khalifah. Bukti sejarah menunjukkan bahwa kebanyakan kepingan ini bertanggalkan Hijriah. Kepingan tembaga Muslim tertua tidak dibubuhi nama pencetak dan tanggal, tapi ada seri yang kemungkinan telah diterbitkan semasa kekhalifahan ‘Usman atau ‘Ali, radiallahu anhu. Kepingan ini merupakan tiruan tidak sempurna dari bentuk kepingan Romawi timur 12-nummi yang dicetak oleh Heraclius dari Alexandria.

Standar dari koin yang ditentukan oleh Khalif Umar ibn al-Khattab, berat dari 10 Dirham adalah setara dengan 7 Dinar (1 mithqal). Pada tahun 75 Hijriah (695 Masehi) Khalifah Abdalmalik memerintahkan Al-Hajjaj untuk mencetak Dirham untuk pertama kalinya, dan secara resmi beliau menggunakan standar yang ditentukan oleh Khalifah Umar ibn Khattab. Khalif Abdalmalik memerintahkan bahwa pada tiap koin yang dicetak terdapat tulisan: “Allahu ahad, Allahu samad”. Beliau juga memerintahkan penghentian cetakan dengan gambar wujud manusia dan binatang dari koin dan menggantinya dengan huruf-huruf.

Perintah ini diteruskan sepanjang sejarah Islam. Dinar dan Dirham biasanya berbentuk bundar, dan tulisan yang dicetak diatasnya memiliki tata letak yang melingkar. Lazimnya di satu sisi terdapat kalimat “tahlil” dan “tahmid”, yaitu, “La ilaha ill’Allah” dan “Alhamdulillah” sedangkan pada sisi lainnya terdapat nama Amir dan tanggal pencetakkan; dan pada masa masa selanjutnya menjadi suatu kelaziman juga untuk menuliskan shalawat kepada Rasulullah, salallahu alayhi wa salam, dan terkadang, ayat-ayat Qur’an.

Koin emas dan perak menjadi mata uang resmi hingga jatuhnya kekhalifahan. Sejak saat itu, lusinan mata uang dari beberapa negara dicetak di setiap negara era paska kolonialisme dimana negara negara tersebut merupakan pecahan dari Dar al Islam.

Sejarah telah membuktikan berulang kali bahwa uang kertas telah menjadi alat penghancur dan menjadi alat untuk melenyapkan kekayaan uamt Muslim. Perlu diingat bahwa Hukum Syariah Islam tidak pernah mengizinkan penggunaan hutang ataupun surat janji pembayaran menjadi alat tukar yang sah

Apa Itu Dinar Dirham?
Berdasarkan Ketetapan yang diputuskan oleh Sayyidina Umar Ibn Khattab, radiyallahu anhu,

Dinar emas memiliki kadar 22 karat emas (917) dengan berat 4.25 gram.

Dirham perak memiliki kadar perak murni dengan berat 3.0 gram.

Khalifah Umar ibn al-Khattab menentukan standar antar keduanya berdasarkan beratnya masing-masing: “(Berat) 7 dinar harus setara dengan 10 dirham.”

“Wahyu menyatakan mengenai dinar-dirham dan banyak sekali hukum hukum yang terkait dengannya seperti zakat, pernikahan, hudud dan lain sebagainya. Sehingga dalam Wahyu dinar dirham memiliki tingkat realita dan ukuran tertentu sebagai standar pernghitungan (untuk Zakat dan lain sebagainya) dimana sebuah keputusan dapat diukurkan kepadanya dibandingkan dengan mata uang lainnya.

Telah menjadi ijma ulama sejak awal Islam dan pada masa para Sahabat dan Tabi’in bahwa Dirham menurut syari’ah adalah 10 dirham setara dengan 7 mithqal (dinar) emas … Berat dari satu mithqal emas setara dengan 72 butir gandum, maka dirham yang tujuh-per-sepuluh darinya adalah 50 dirham dan dua-per-lima butiran gandum. Semua ukuran ini merupakan hasil ijma.”

Apa saja kegunaan Dinar Dirham?

Sebagai simpanan
Sebagai pembayar zakat dan mas kawin sebagaimana telah disyaratkan oleh Syari’ah Islam.
Digunakan untuk perniagaan sebagai alat tukar yang sah.
Penggunaan Dinar dan Dirham
Emas dan perak merupakan alat tukar paling stabil yang pernah dikenal oleh dunia. Sejak awal sejarah Islam sampai saat ini, nilai dari mata uang Islam yang didasari oleh mata uang bimetal ini secara mengejutkan sangat stabil jika dihubungkan dengan bahan makanan pokok:

Harga seekor ayam pada masa Rasulullah, salla’llahu alaihi wa sallam, adalah satu dirham; saat ini, 1,400 tahun kemudian, harga seekor ayam tetaplah satu dirham.

Selama 1,400 tahun nilai inflasinya adalah nol.

Dapatkah kita melihat hal yang sama terhadap dollar atau mata uang lainnya selama 25 tahun terakhir ini?

Terlihat bahkan untuk jangka panjang, sistem mata uang bi-metal terbukti menjadi mata uang yang paling stabil. Ia tetap bertahan, di samping usaha dari berbagai pemerintahan untuk merubahnya menjadi mata uang simbolis yang diwakilkan oleh nilai nominal yang berbeda dengan berat yang dimilikinya.

Keunggulan
Uang emas tidak akan mengalami inflasi hanya karena dicetak secara terus menerus; ia tidak akan dapat didevaluasi oleh sebuah peraturan pemerintah, dan tidak seperti mata uang nasional, uang emas merupakan sebuah aset yang tidak tergantung kepada janji siapa pun untuk membayar nilai nominalnya.

Portabilitas dan tingkat kerahasiaan dari emas adalah nilai tambah yang penting, akan tetapi lebih daripada itu sebuah fakta yang tidak terelakkan adalah emas merupakan aset nyata dan bukan merupakan hutang.

Semua jenis aset kertas, seperti surat hutang, saham, dan bahkan deposito bank merupakan pernyataan janji hutang yang akan dibayarkan. Nilainya sangat bergantung kepada kepercayaan penanam modal bahwa janji tersebut akan dipenuhi. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh surat hutang sampah dan mata uang Peso Meksiko, janji yang meragukan akan segera kehilangan nilainya. Emas tidaklah seperti ini. Sebentuk emas bebas dari semua bentuk sistem finansial, dan nilainya telah dibuktikan selama 5,000 tahun sejarah manusia.

Menunaikan Zakat
Zakat tidak dapat dibayarkan dengan menggunakan hutang maupun surat janji pembayaran.

Zakat hanya dapat dibayarkan dengan menggunakan barang yang memiliki nilai yang nyata, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘Ayn. Zakat tidak dapat dibayarkan dengan menggunakan janji pembayaran atau hutang, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai Dayn.

Sejak awal zakat dibayar dengan menggunakan Dinar dan Dirham. Sebuah bukti nyata bahwa pada sepanjang masa pemerintahan Ottoman hingga jatuhnya Khalifah, zakat tidak pernah diperkenankan dibayarkan dengan menggunakan uang kertas.

Shaykh Muhammad ‘Illysh (1802-1881), seorang Qadi Maliki yang terkemuka, berkata bahwa jika anda ingin membayar zakat dengan menggunakan uang kertas, maka anda harus membayarnya sesuai dengan nilainya sebagai benda (’Ayn), yang artinya nilai dari kertas itu sendiri. Maka dari itu, nilai nominal dari kertas itu tidak diperkenankan sebagai alat pembayar zakat.

“Jika zakat menjadi wajib, apapun bendanya, akan dihitung/dinisab berdasarkan sifat dan jumlahnya, bukan berdasarkan nilainya, seperti yang terjadi pada perak, emas, biji-bijian, dan buah. Apabila sifat dari benda tersebut tidak memiliki keutamaan dalam hal zakat, maka benda tersebut akan diperlakukan sebagaimana halnya tembaga, besi atau yang sejenisnya.”

Tata cara pembayaran zakat telah dijelaskan dan diatur secara sempurna dalam tata cara hukum Islam. Selama berabad-abad, ketika Syari’ah Islam ditegakan oleh seorang Khalifah atau seorang Amir, zakat selalu dibayarkan dengan menggunakan emas dan perak. Ketika uang kertas pertama kali diperkenalkan, pada abad-abad akhir oleh kekuatan kolonialisme, para ulama tradisional menolak kehadirannya karena sifatnya yang bertentangan dengan Syari’ah Islam.

Menurut pandangan para ulama tersebut, uang kertas hanya bisa dilihat sebagai fulus yang berada dalam kategori mata uang rendah yang hanya dapat digunakan sebagai pecahan mata uang kecil. Sebagai contohnya, tidak diizinkan untuk menggunakan fulus dalam perjanjian qirad . Termasuk ke dalam golongan ulama tersebut, terdapat seorang alim terkemuka keturunan daerah maghribi, Shaykh Muhammad ‘Illyash yang merupakan Shaykh dari para Shaykh fiqih Maliki di Universitas Al Azhar Mesir. Beliau menulis dalam Fatwanya:

‘Saya ditanya mengenai penilaian saya terhadap Segel Sultan (sejenis uang kertas yang digunakan pada zaman Kekhalifahan Osmanli) yang beredar sebagai pengganti dinar dan dirham. Apakah Zakat wajib atasnya, sebagaimana yang terjadi pada emas, perak dan barang dagangan, atau tidak?’

Saya menjawab:

“Segenap puji bagi Allah dan rahmat dan kedamaian bagi Junjungan kam, Sayidduna Muhammad, Rasulullah.”

“Tidak ada zakat yang dibayarkan atasnya, sebagaimana zakat diwajibkan atas hewan ternak, beberapa jenis biji-bijian dan buah-buahan, emas, perak, nilai dari pendapatan dagang dan barang simpanan. Barang yang disebutkan di atas (Segel Sultan) tidak termasuk ke dalam kategori tersebut.”

“Engkau akan melihat amal dari penjelasan mengenai hal ini pada koin tembaga atau fulus yang dicetak dan diberi segel Sultan yang ada dalam peredaran, di mana tidak ada zakat yang dibayarkan atasnya, karena tidak termasuk ke dalam kategori yang wajib untuk dizakatkan. Sebagaimana tercantum dalam kitab Mudawwana: ‘Barangsiapa yang memiliki koin receh (fulus) senilai 200 dirham dalam satu tahun, tidak diwajibkan zakat atasnya, kecuali ia merupakan barang dagangan. Maka, si pemilik harus melihat nilai koin tersebut sebgaimana nilai barang dagangan.’”

“Dalam kitab ‘Al-Tiraz’, disebutkan Abu Hanifa dan Asy-Syafi’i menyatakan dengan tegas pembayaran zakat atas koin receh, karena keduanya mempertimbangkan pentingnya membayar zakat atas nilainya, di sebutkan juga bahwa terdapat dua perbedaan dalam pendapat Asy Syafi’i, ia menyatakan bahwa sikap mazhab yang menyatakan tidak mewajibkan zakat atas koin receh, tidak ada perbedaan pula bahwa koin receh dilihat dari nilainya, bukan dari berat dan jumlahnya. Jika zakat menjadi wajib, apapun bendanya, akan dihitung/dinisab berdasarkan sifat dan jumlahnya, bukan berdasarkan nilainya, seperti yang terjadi pada perak, emas, biji-bijian, dan buah. Apabila sifat dari benda tersebut tidak memiliki keutamaan dalam hal zakat, maka benda tersebut akan diperlakukan sebagaimana halnya tembaga, besi atau yang sejenisnya.”

“Dan Allah, segenap puji dan sembah bagiNya, Maha Bijaksana. Semoga Allah memberkahi dan memberikan kedamaian bagi junjungan kita, Nabi Muhammad beserta seluruh keluarganya.”

(Diterjemahkan dari kitab ‘Al-fath Al’Ali Al-Maliki’, hal. 164-165)

Fatwa ini menyatakan bahwa uang kertas adalah fulus karena uang kertas hanya mewakili nilai nominal uang dan tidak memiliki nilai dagang. Maka dari itu, zakat tidak dapat dibayarkan dengan menggunakan uang kertas yang tidak nilainya sebagai kertas adalah nol. Saat penggunaan Dinar dan Dirham sebagai alat pembayaran zakat ditegakan kembali, maka jutaan koin emas dan perak akan kembali hadir di kegiatan perniagaan sehari-hari. (sumber : http://muamalat.wordpress.com/2007/06/16/dinar-emas-dan-dirham-perak/ )

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 



 
Copyright © PIRAMIDA EMAS